Minggu, 28 Juni 2020

Mas Ustaz The Series 2

*Percikan Api Cemburu*
Mas Ustaz The Series 2

Oleh: Ni'matul Khoiriyyah

Duka mendalam tampak jelas di wajah Ustaz Anam. Setelah tiga tahun bersama membangun mahligai cinta, kini sang Istri kembali ke haribaan Ilahi dengan meninggalkan seorang bayi mungil yang belum sempat diberikan ASI.

Dosen yang kulihat selalu enerjik itu kini terlihat rapuh. Bahkan beberapa kali kulihat ia menitikkan air mata. Begitu pedihnya ditinggal istri tercinta saat berjuang melahirkan sang Buah Cinta. Aku tidak bisa membayangkan bila skenario itu terjadi padaku. Mungkin aku akan tumbang, tak sanggup melihat kepergian belahan jiwaku.

"Mas, aku minta izin pulang, ya," pesan istriku via WA di jam Ishoma. Aku baru saja kembali ke kampus usai takziah ke kediaman Ustaz Anam.

"Kok mendadak, ada apa, Dik? Sabtu saja, ya, denganku," balasku.

"Aku inginnya sekarang, Mas. Kangen ayah dan ibu."

"Jangan pulang sendirian, Dik. Nanti banyak prasangka dan pertanyaan berat. Mas janji, Sabtu kita pulang."

_"Nggih, mpun."_

"Jangan marah, Sayang."

"Nggak marah, kok."

"Bohong juga nggak boleh, lho."

"Lha Mas nggak ngizinin. _Anyel_ aku."

"Istriku lucu kalau marah 😊."

Hening. Tak ada balasan lagi. Sepertinya ia benar-benar marah. Aneh. Mengapa ia ingin pulang sendiri tanpaku? Adakah sikapku yang ingin ia adukan pada ayah dan ibu setelah apa yang terjadi dua hari terakhir ini?

Saat melihat kalender di meja, baru kusadari delapan bulan sudah usia pernikahanku. Ia istri yang sangat baik dan pengertian meskipun manja. Ia sangat perhatian sekaligus pencemburu berat. Ia selalu taat dan patuh padaku meskipun kadang keputusanku berseberangan dengan keinginannya. Ia tidak pernah meminta lebih. Ia cinta terbaik sekaligus cinta terakhir yang merupakan anugerah terindah dari Tuhanku.

"Taz, saya perlu bicara dengan Antum. Kita keluar!" Ustaz Amani tiba-tiba datang tanpa salam dengan raut marah.

Kuikuti langkahnya. Ia membuka pintu mobil, mempersilakanku masuk kemudian duduk di belakang kemudi.

"Antum sudah mengacaukan semua rencana saya. Qonita datang marah-marah. Dia memaki-maki Salma, istri saya. Salma minta cerai. Padahal, saya sedang menyusun rencana untuk membicarakan semua ini baik-baik secara kekeluargaan, tapi Antum sudah lancang memberitahu Qonita duluan. Jangan-jangan Antum ini punya dendam karena saya pernah meninggalkan Nabila, adik Antum. Atau malah sebenarnya Antum masih mencintai Qonita. Jujur saja, Taz!" Tatapannya penuh amarah seiring dengan nada bicaranya.

"Antum salah paham. Saya hanya menjawab pertanyaan Qonita karena dia terus memaksa saya untuk jujur. Dan semua ini tidak ada hubungannya dengan Nabila, apalagi perasaan saya. Karena saya sangat mencintai istri saya, dan tidak ada perempuan lain."

"Antum memang tidak punya perasaan. Antum sudah tahu Qonita akan munaqasyah beberapa hari lagi. Tapi Antum hancurkan perasaannya dengan mengatakan siapa Salma. Saya tidak pernah menyangka Antum akan setega itu."

"Taz, saya hanya menjawab pertanyaan. Tidak lebih dari itu," tegasku. "Antum tetap tidak jadi menikahi Qonita, kan? Saya yakin, Antum hanya akan mempertahankan Salma dan bukan Qonita. Padahal Qonita, gadis yang belum lama Antum pinang itu ... sangat mencintai Antum. _Bal hiya katabat ismakum fi shohfatil ihda'._ Antum sudah tahu itu?"

"Tentang nama saya yang tertulis di skripsi Qonita, dia kan bisa merevisinya pasca sidang. Dia bisa dengan mudah menghapus nama saya dari skripsinya tanpa bekas. Tapi setidaknya biarkan dia mengikuti munaqasyah dulu. Berita sebesar ini seharusnya dia ketahui setelah munaqasyah, bukan sebelumnya. Kalau seperti ini keadaannya, apakah Qonita bisa mengikuti sidang? Dia sudah hancur sebelum bertempur, Taz, dan itu karena Antum."

"Baik. Saya minta maaf. Saya memang bersalah karena telah lancang mengatakan pada Qonita bahwa Salma adalah istri Antum. Sekarang, harapan Qonita telah pupus, cintanya pun kandas, dan kita adalah dua orang yang secara berurutan telah melukainya begitu dalam tanpa sengaja. Tapi, saya berani memastikan, Qonita akan tetap ikut sidang bulan ini," tuturku yakin. Kulirik jarum jam di tangan kiriku. "Kalau sudah tidak ada pembicaraan lain, izinkan saya kembali. Saya ada jadwal mengajar. Sudah waktunya masuk kelas."

Ustaz Amani termangu tanpa menjawab. Aku langsung keluar mobil setelah mengucap salam meski salamku belum dijawabnya.

_"Nantadhirukum, Ya Ustaz,"_ ucap salah seorang mahasiswaku saat kami berpapasan di depan kantor Fakultas Tarbiyah.

_"Syukran. Intadhirni fil fashl, lahdhah."_

Tema perkuliahan kali ini adalah kaidah na'at dan man'ut. Na'at merupakan lafaz yang menjadi sifat, sedangkan man'ut adalah lafaz yang diberi sifat.

Na'at itu sendiri terbagi menjadi dua; na'at haqiqi, dan na'at sababi.
Na'at haqiqi merupakan sifat yang merafa’kan isim dhamir mustatir yang kembali pada man’utnya (yang disifati). Sedangkan na'at sababi merupakan sifat yang merafa’kan isim dhahir, di mana pada isim dhahir tersebut terdapat isim dhamir yang kembali pada man’utnya.

Pada na'at haqiqi, na'at disesuaikan dengan man'ut dalam hal i'rab baik rafa', nashab, maupun jarnya, jenis baik mudzakkar maupun muannatsnya, jumlah baik itu mufrad, mutsanna, maupun jamaknya, serta nakirah maupun ma'rifahnya. Sedangkan pada na'at sababi, penyesuaian cukup dalam i'rab rafa', nashab, jar, nakirah, dan ma'rifahnya.

Perkuliahan usai pukul 19.10. Usai mengembalikan daftar hadir dan jurnal mengajar ke kantor fakultas, aku menuju ke masjid untuk menunaikan salat Isya' berjamaah. Aku sempat berpapasan dengan Ustaz Amani saat keluar dari kantor. Sepertinya, ia juga mengembalikan daftar hadir.

Hujan mengguyur deras bersamaan dengan kumandang merdu azan Isya, bahkan belum reda ketika salat berjamaah usai. Parkirku cukup jauh dari masjid dan aku tidak membawa payung. Aku akan basah kuyup bila menerjang hujan.

Kulihat para jamaah pun tampak risau menanti hujan yang tak kunjung henti. Ditambah hembusan angin yang dinginnya menusuk tulang. Beberapa di antara mereka menanti di serambi bersamaku, dan yang lain kembali masuk ke dalam masjid.

Tidak ada pembicaraan. Derasnya guyuran hujan membuat kami harus sedikit berteriak bila ingin bicara agar bisa terdengar satu sama lain.

Terlihat dari kejauhan seseorang berpayung mendekat. Tampaknya ia juga membawa sebuah payung lipat di tangan kanannya.

"Pulanglah, Ustaz. Istri Antum menunggu di rumah!" kata orang itu setengah berteriak sambil menyerahkan payung lipatnya padaku.

"Ustaz Amani ...," ucapku lirih. Tidak menyangka ia akan melakukan ini setelah kemarahannya tadi siang, juga ekspresi datarnya saat berpapasan di depan kantor.

"Cepat, sebelum saya berubah pikiran!"

"Syukran, jazakallah khairan." Kuterima payung itu dan aku segera menuju ke parkiran.

Aku duduk di belakang kemudi sambil melipat payung. Saat kuletakkan payung itu di belakang, aku baru menyadari kalau buket yang kubeli kemarin belum kuberikan pada istriku. Mungkin akan sangat romantis bila kuberikan padanya malam ini, apalagi cuacanya sangat mendukung.

"Mas, di sini hujan deras. Bagaimana di sana? Kalau Mas nggak pulang malam ini, nggak apa-apa. Cuacanya sedang kurang baik." Pesan via WA dari kekasih halalku.

"Bagaimana aku meninggalkan istriku di cuaca seperti ini? Aku pulang sekarang. Tunggu aku, Sayang."

"Nggih. Hati-hati, Mas. Antadhiruk huna."

"Aewah."

Perlahan kutinggalkan gerbang kampus. Baru sekitar 700 meter dari gerbang, kulihat ada seorang gadis tergeletak di tepi jalan. Entah apa yang terjadi pada gadis itu. Korban tabrak larikah, atau memang tiba-tiba pingsan. Belum ada yang menolongnya karena kebetulan jauh dari rumah warga.

Aku berhenti dan segera turun. Kuhampiri gadis itu. Perlahan kubalikkan badannya dan aku terkejut saat mengetahui bahwa gadis itu adalah Qonita. Kutepuk-tepuk lengannya sambil terus memanggil namanya. Ia tidak merespon. Terpaksa kuangkat ia ke mobil dan kududukkan di sebelahku.

_"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bermaksud mengkhianatimu. Aku hanya sedang menolong gadis yang pingsan ini,"_ ucapku dalam hati.

"Qonita, bangun, Qonita!" Aku masih berusaha menyadarkannya sambil mendekatkan minyak angin ke hidungnya. Kutepuk-tepuk pipi dan lengannya perlahan beberapa saat.

Gadis itu perlahan mulai sadar. "Jangan sakiti aku!" ucapnya terkejut saat melihatku.

"Qonita, ini saya."

"Ya Allah, Ustaz ... saya di mana?" tanyanya dengan ekspresi linglung.

"Kita masih di dekat kampus. Kamu pingsan di pinggir jalan. Apa yang terjadi?"

Tiba-tiba ia menangis dan memalingkan wajah. Aku khawatir terjadi hal yang buruk padanya.

"Qonita, kamu kenapa?"

"Izinkan saya turun, Ustaz."

"Jawab dulu pertanyaan saya, kenapa kamu sampai pingsan? Dan kenapa kamu sendirian di sini?"

"Ustaz, biarkan saya pulang sendiri."

"Ini sudah malam, Qonita, tidak baik seorang gadis pergi sendirian."

"Kalau begitu kenapa Ustaz meninggalkan saya?"

Gadis itu sepertinya terluka parah hatinya. Ia tetap menangis. Bahkan enggan menatapku.

"Qonita ...," panggilku sekali lagi. "Saya antar kamu pulang, ya."

Ia menoleh dan tiba-tiba menggenggam erat tangan kiriku. "Jangan, Ustaz!" ucapnya lirih dengan nada memohon.

"Tolong lepaskan tangan saya!"

"Maaf, saya refleks." Ia melepas genggamannya.

"Kamu sakit?"

Ia menggeleng.

"Saya antar kamu pulang sekarang. Kamu basah kuyup, harus segera ganti pakaian. Nanti masuk angin."

"Ustaz juga basah kuyup."

Aku tidak menjawab lagi. Kumatikan AC dan kulajukan kendaraan menuju rumahnya tanpa meminta persetujuannya lagi. Ia kembali bungkam dan kami hening sepanjang perjalanan. Sesekali kudengar ia bersin. Ia tampak kedinginan.

Pikiranku melayang. Gadis ini pernah menjadi calon istriku namun aku gagal meluluhkan hati ayahnya. Aku pernah mencintainya namun cinta kami kandas karena tak direstui.

Qonita sudah berbeda sejak kutinggalkan. Dulu ia kukenal sebagai gadis yang tangguh, sopan, ceria, giat, pandai, dan cantik. Masalah apapun yang dihadapinya tidak pernah melemahkannya. Kini kulihat ia begitu rapuh, muram, dan jarang sekali kulihat senyum cerianya. Mungkin hatinya telah tercabik-cabik. Hancur. Dan kini tinggal puing-puing kenangan yang bila ia mengingatnya, ia akan semakin merasakan kepedihan.

Gadis ini sangat membutuhkan sandaran untuk menopang hatinya. Ia sangat mengharapkan itu dari Ustaz Amani, namun harapan itu pun pupus. Ia kembali hancur. Bahkan, mungkin lebih hancur dari yang dulu saat kulepaskan ia dalam suasana yang sama, di bawah derasnya hujan.

"Ustaz," sapanya. Ia menggosok-gosokkan telapak tangannya. Sepertinya ia kedinginan.

"Iya. Bicaralah!"

"Apakah Ustaz sama sekali tidak mencintai saya lagi?"

Pertanyaan itu menghujam. Tidak pernah kuduga. "Saya sudah menikah, Qonita," kataku.

"Saya tahu itu, Ustaz. Tapi itu bukan jawaban dari pertanyaan saya. Saya bertanya tentang perasaan, bukan status."

"Saya hanya mencintai istri saya." Tegasku. Aku mulai curiga dengan alur pembicaraannya.

"Apakah saya sudah tidak ada lagi di hati Ustaz?"

Ia masih mengejar dengan pertanyaan berbeda diksi namun senada dan semakna.

"Ustaz tidak bisa menjawab? Atau tidak berani jujur?"

Gadis ini benar-benar sudah berubah. Ia bahkan lupa etikanya sebagai mahasiswi. Pertanyaan itu tidak sepatutnya diucapkan.

"Sudah sampai. Maaf, saya tidak bisa mengantar masuk. Istri saya sudah menunggu lama."

"Baik, Ustaz. Terima kasih sudah menolong saya. Saya mohon Ustaz berkenan memaafkan sikap buruk saya. Saya permisi." Ia membuka pintu lalu turun.

"Tunggu, Qonita!"

"Iya, Ustaz."

"Kamu harus tetap maju untuk sidang bulan ini."

Ia mengangguk lalu mengucap salam dan menutup pintu. Meski kesal, aku bersyukur melihat cara meresponnya walau hanya dengan anggukan. Setidaknya, ia sudah menunjukkan kesediaannya untuk tetap mengikuti ujian skripsi.

Kulanjutkan perjalanan pulang yang sudah tertunda lebih dari setengah jam. Maafkan aku, Dik. Aku sudah banyak melakukan kesalahan malam ini. Aku menggendong Qonita, menepuk-nepuk lengan dan pipinya, dan ia menggenggam tanganku. Bahkan aku juga mengantarnya pulang. Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku.

"Mas Ustaz kok basah kuyup?" sapa istriku saat aku sampai di rumah. Ia mencium tanganku. "Lho, kenapa ini? Baju Mas Ustaz berlumpur. Mas jatuh, ya? Di mana? Ada yang sakit?"

Begitulah dirinya. Menyerang dengan pertanyaan penuh perhatian dengan nada khawatir.

"Mas cepat mandi, ya. Air hangat dan handuknya sudah siap. Akan kubuatkan teh jahe sambil menunggu Mas mandi." Ucapnya sambil membuka kancing bajuku satu persatu. Aku hanya menurut tanpa menolaknya. Ia melangkah ke dapur, dan aku masuk ke kamar mandi.

Sayang, rencana indahku gagal. Ia marah-marah ketika aku selesai berganti pakaian karena menemukan bros dagu di mobil dan melihat bekas lumpur di jok depan sebelah kiri.

"Mas Ustaz baru pergi dengan siapa?" tanyanya kesal sambil menunjukkan bros dagu permata hijau berbentuk bintang dan sebuah buket mawar. "Berduaan dengan perempuan lain di tengah hujan begini? Mas bisa, ya? Aku kecewa. Aku benci. Mas tidur aja dalam mobil, nggak usah masuk rumah!" Ia menjatuhkan bros dan buket itu di lantai bersamaan.

"Dik, dengarkan aku dulu, Sayang. Kamu salah paham."

"Salah paham? Itu bukan brosku, Mas. Dan bunga itu, lumpur itu juga, apa itu tidak cukup membuktikan kalau Mas pergi berdua dengan seorang wanita? Mawar itu? Keluar, Mas, aku mohon! Aku nggak suka dibohongi seperti ini!" Ia mendorongku keluar.

"Sayang," ucapku hendak memegang bahunya.

"Jangan sentuh!" ia menghempaskan tanganku.

"Aku mengantar Qonita, Dik."

"Kamu mengantar Qonita, Mas? Keluar, susul aja Qonita, nggak usah pulang!"

Ia mulai menutup pintu namun kuhadang. "Qonita pingsan di jalan, Dik. Aku menolongnya hanya sebagai wujud rasa kemanusiaan. Tidak lebih dari itu," jelasku.

Ia melepaskan gagang pintu. Tatapannya mulai teduh. "Pingsan? Apa tidak ada orang lain, sampai harus suamiku sendiri yang menolongnya?" Nadanya melunak.

"Tidak ada, Sayang. Sangat berbahaya kalau dia kubiarkan tergeletak di dekat perkebunan, jauh dari rumah warga. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kendaraan lalu-lalang yang melintas tanpa menghampiri karena hujan deras. Bagaimana kalau ada orang yang ingin jahat padanya? Dia mahasiswaku, Dik."

"Jadi, Mas Ustaz basah kuyup karena itu? Mas menggendongnya sambil hujan-hujanan?"

"Maafkan aku, Sayang. Aku hanya bermaksud menolong."

"Kamu masih mencintainya, Mas?"

"Tidak, Dik."

"Benar?"

"Iya."

"Sungguh? Nggak bohong?"

"Tatap mataku, Sayang. Aku tidak membohongimu."

Ia menarikku dalam dekapan. Ia memukul-mukul lirih punggungku dengan kepalan tangannya. Kukecup mesra keningnya. Ia benar-benar pencemburu berat sekaligus pencinta yang setia. Ia sudah melunak meskipun masih marah.

"Kamu mau memaafkanku, Sayang?" tanyaku sambil mendekap hangat tubuhnya.

Ia melepas pelukanku. "Bunga itu untuk siapa?" tanyanya sambil menunjuk dengan jari.

"Itu bunga yang kubeli kemarin, Sayang. Aku lupa memberikannya padamu. Rencananya, akan kuberikan malam ini. Tapi kamu sudah terlanjur marah duluan dan merusaknya."

Ia mengambil bunga itu. "Masuk, Mas. Tehnya keburu dingin," ucapnya kemudian.

"Buang saja, Dik. Besok kubelikan lagi yang lebih cantik. Bunga itu sudah rusak terkena percikan api cemburumu."

"Nggak usah, Mas. Biar kuperbaiki. Aku bisa, kok. Mas cepetan masuk!"

"Kalau masih ingin menghukumku, aku bisa tidur di mobil malam ini, Dik. Nggak apa-apa." Kubalikkan badan sambil melangkah keluar.

"Mas, jangan!" Ia menarik tanganku. "Masuk, ya! Aku nggak mau Mas di luar. Aku sedih kalau kamu sakit, Mas."

"Dan aku sakit kalau kamu tidak mau tersenyum padaku, Dik."

"Ini yang marah siapa? Kok jadi Mas yang merajuk?"

"Yang penting, kita tidak marah di waktu yang sama," ujarku sebelum mendaratkan kecupan di pipinya.


Istriku kembali menyunggingkan senyum manisnya setelah beberapa saat menumpahkan emosi karena api cemburu membakar hati. Ia memperlakukanku dengan sangat ramah. Teh jahe yang dihidangkannya cukup menghangatkan karena ia menatapku dengan tatapan rahmah. Ditambah kenikmatan sup jamur buatannya yang begitu khas di lidah.

"Dik, terima kasih, ya." Ucapku sambil menggenggam tangannya. Bola matanya tampak begitu meneduhkan.

"Terima kasih untuk apa, Mas?"

"Untuk keluasan hatimu yang selalu bersedia memaafkanku."

"Mas, aku yakin Mas selalu ingat pada janji suci yang Mas lafalkan saat pernikahan kita. Itu janjimu pada Allah, Mas. Kalau Mas berkhianat, maka hakikatnya Mas Ustaz juga mengingkari janji pada Allah."

"Aku akan selalu berusaha, Dik. Bantu aku memenuhi janjiku. Selalu dampingilah suamimu dalam menuju rida-Nya."

"Insyaallah, Mas. Aku cuci piring dulu, ya. Mas tunggu di sini, nggak usah ikut."

Ia mengambil piring, cangkir, dan mangkuk di meja makan untuk dicuci. Aku menunggunya sesuai perintah. Sebenarnya aku ingin membantu tapi aku sudah merasa lelah dan mengantuk. Mungkin karena kehujanan. Aku pun segera berwudhu.

Istriku sudah menunggu di kamar. Aku menyusul. Ia sedang mengganti sarung bantal dengan yang baru. Ia memerhatikanku setelah memasukkan sarung bantal yang lama ke keranjang di samping lemari.

"Mas Ustaz kenapa? Nggak enak badan ya, Mas? Mas merasa meriang? Atau pusing?" Ia begitu banyak bertanya.

"Aku baik-baik saja, Dik, hanya sedikit lelah saja."

"Mas, setiap orang punya batas kekuatan masing-masing. Aku ini istri kamu, Mas. Mas kalau nggak enak badan, jujur saja. Aku nggak keberatan kok merawat Mas Ustaz. Itu wajah Mas kelihatan pucat." Ia mendekat, meraba leher dan dahiku. "Istirahat, ya."

Ia membaringkanku di ranjang, menyelimutiku, lalu mencium dahiku dan terus membelai ubun-ubunku perlahan-lahan. "Dasar bandel!" ucapnya lirih sambil tersenyum.

"Kenapa, Dik?" tanyaku.

"Ummik pernah cerita kalau dari kecil Mas itu sensitif dengan air hujan."

"Iya, lalu?"

"Sudah tahu hujan deras, malah hujan-hujanan demi Qonita," omelnya.

"Aku tidak tahu kalau dia Qonita, Dik. Aku hanya bermaksud menolong orang pingsan yang ternyata adalah Qonita."

"Hmm ... tetap aja namanya hujan-hujanan, kan? Apalagi ... Mas yang biasanya pulang seminggu sekali, sekarang setiap hari. Daya tahan tubuh Mas akan lemah ketika lelah, ditambah kehujanan. Begini jadinya."

Aku tersenyum melihatnya mengomel. Ekspresinya natural sekali. "Sudah malam, Dik, tidurlah!" tegurku.

Ia berhenti membelai ubun-ubunku dan tiba-tiba berlari keluar sambil menutup hidung. Segera aku menyusulnya yang ternyata berlari ke wastafel di dapur. Kulihat bercak merah menetes.

"Dik, kamu mimisan?" tanyaku khawatir. Segera kuambil beberapa lembar tissu dan kuberikan padanya. Belum pernah aku melihatnya mimisan seperti ini.

Tiga menit kemudian darah dari hidungnya berhenti. Aku membantunya membersihkan diri. Kugandeng ia kembali ke kamar.

"Mas nggak usah khawatir, aku nggak apa-apa kok," ucapnya begitu tenang. Entah ia jujur atau hanya berusaha membuatku tidak khawatir.

"Kamu juga mengatakan hal yang sama, Dik." Aku tersenyum menatapnya kemudian menempelkan dahiku ke dahinya beberapa detik sambil melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya, dan kedua tangannya di pinggangku.

Hujan telah reda. Kami merebahkan badan di atas ranjang sambil berselimut. Istriku menceritakan harinya, dan aku pun menceritakan hariku, tapi tidak tentang pertanyaan gila Qonita. Aku tidak ingin kecemburuannya kembali menyala. Cemburu memang tanda cinta, tapi kecemburuan yang berlebihan tanda tak percaya. Dan aku melihat ia sangat mencintaiku.

Perlahan kutanyakan mengapa mendadak ia ingin pulang tanpaku. Adakah sikapku yang membuatnya tidak nyaman atau ingin diadukan pada ayah dan ibu. Tapi ia berkata tidak. Hanya ada rindu yang ingin ditumpahkan. Bagaimanapun, delapan purnama sudah ia setia mendampingiku dalam tangis dan senyumnya.

"Bayangkan kalau tadi kamu pulang sendiri, Dik. Siapa yang akan merawatku malam ini?" tanyaku menggoda.

Ia tersenyum mencubit pipiku. "Makanya jangan hujan-hujanan."

"Dik, kamu pernah mimisan sebelumnya?"

Ia tersenyum. "Ya ... hampir setiap bulan."

Ya Allah ..., suami macam apa aku ini? Selama delapan bulan berumah tangga, aku belum pernah tahu. "Baru malam ini aku tahu, Dik. Maafkan aku," sesalku.

"Biasanya ketika Mas nggak ada. Baru kali ini aja pas ada Mas Ustaz," ekspresinya begitu tenang dan santai.

"Sejak kecil?"

"Iya. Di saat merasa cuaca terlalu panas, udara terlalu dingin, atau kelelahan. Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirkan kok, Mas. Mas tenang aja."

"Alhamdulillah," ucapku lega. "Sayang, seberapa besar kamu cemburu pada Qonita?"

"Aku percaya Mas tidak lagi mencintainya, tapi besar kemungkinan dia masih mengharapkanmu, Mas. Mas dan dia kan pernah saling mencintai."

Aku terkekeh mendengar kejujurannya. Ia selalu menganggap Qonita masih mencintaiku terutama setelah kehadiran Salma yang diperistri Ustaz Amani.

"Dik, kamu masih belum cerita, apa yang membuatmu menangis malam itu, ketika paginya kamu pergi dengan Bu Zuna."

"Suatu hari Mas akan mengerti tanpa kukatakan."

"Kamu benar-benar sudah menjadi ratu di hatiku, Dik. Karena aku tidak pernah bisa memaksakan kehendakmu."

Ia tersenyum kecil. "Oh iya, Mas. Tadi siang Ning Hida sempat video call. Katanya, nyidam ingin nyubit pipiku. Kita kapan dong, nyambangi pesantren?"

"Pertanyaannya jangan begitu, Dik. Kamu kapan nyidam kayak Ning Hida?" pancingku.

Permaisuriku terdiam. Raut wajahnya berubah. Sepertinya aku bersalah menanyakan hal itu padanya. Bagaimana mungkin ia bisa menjawab kalau aku sendiri belum melakukannya. Istriku masih perawan hingga saat ini, meski statusnya telah bersuami.

Ia memejamkan mata tapi aku yakin ia belum tidur. Mungkin kesal karena pertanyaanku. Kurapikan selimut di tubuhnya. "Selamat tidur, Sayang," bisikku.

Setelah beberapa menit, tiba-tiba aku bersin beberapa kali dan membuat istriku terbangun. Ia segera menyingkap selimutnya, mengambil tissu, lalu menghampiriku yang duduk di tepi ranjang. Ia memberikan tissu itu setelah meraba dahiku.

"Masih cukup tinggi," ucapnya. "Sepertinya Mas flu, ya. Tunggu sebentar, biar kusiapkan air putih hangat." Ia begitu perhatian meski seringkali aku melukai.

"Dik," panggilku menghentikannya yang beranjak ke dapur.

Ia menatapku. "Iya, Mas, ada apa?"

"Malam ini kamu tidur sendiri, ya, aku tidur di sofa saja."

"Lho, kenapa?"

"Aku tidak ingin kamu tertular, Sayang. Aku sedang flu. Sebagaimana marah, kita juga tidak boleh sakit di waktu yang sama."

"Masyaallah ... Mas, tidak perlu seperti itu. Mas tetap tidur di sini bersamaku. Nggak usah mikir macem-macem, nggak boleh mikir negatif. Ini perintah permaisuri, dan Mas Ustaz nggak boleh nawar."

Ia langsung melangkah cepat sebelum aku berkata-kata lagi. Memang sulit memahami wanita. Kadang ia menjadi pemarah, beberapa saat kemudian menjadi peramah. Kadang ia begitu penurut, tapi sesaat kemudian ia yang mengendalikan. Kamu sangat istimewa bagiku, Dik.

Kekasihku kembali dengan membawa segelas air putih hangat. Aku meminumnya sampai habis sebelum memberikan kembali gelas itu. Ia meletakkannya di atas meja, kemudian mengambil syal dari lemari dan memakaikannya padaku.

"Kita tidur sekarang ya, Mas," ajaknya. "Eh, tunggu dulu, ada obat flu. Sebentar kuambilkan." Ia begitu kurepotkan dengan keadaanku.

Setelah mengambil kotak obat dari ruang depan, ia kembali. Lagi-lagi aku harus menurutinya untuk menelan obat itu. Mungkin pahit di lidah, tapi manis di hati. Alhamdulillah, aku bisa tidur dengan nyaman setelahnya.

"Mas mau ke kampus, ya?" tanyanya dengan nada yang lembut seusai salat subuh. "Udah sembuh?" Tampaknya ia khawatir.

Aku mengangguk. Satu anggukan untuk menjawab dua pertanyaan. "Karena dokternya sebaik kamu, Dik."

"Jangan hujan-hujanan lagi, ya, Mas!" pintanya.

"Tidak pernah sengaja. Kalau kehujanan, sering," candaku.

"Awas kalau nakal lagi kayak semalam, nggak kubukain pintu." Ia merajuk.

Aku tertawa sambil mencubit hidungnya. "Paduka tidak nakal, Permaisuri."

Ia mengambil tiga tablet yang dimasukkannya ke plastik kecil bening. "Diminum nanti setelah makan siang ya, Mas. Tapi kalau udah merasa baikan, nggak usah diminum. Yang penting Mas bawa aja untuk jaga-jaga. Aku minta izin pulang senja, Mas. Mau bantu Bu Zuna mendata buku-buku perpus setelah jam pelajaran berakhir."

"Iya, Sayang. Langsung pulang kalau sudah selesai, ya."




Selasa, 16 April 2019

Ya Habibal Qolbi

“Nduk, sepasang kekasih harus saling membimbing, atau paling tidak, ada salah satu di antara keduanya yang memiliki prinsip yang kuat. Harus ada yang mampu membimbing, mengarahkan agar keduanya tidak salah langkah. Ketika yang perempuan terlena, laki-laki yang  mengarahkan. Ketika yang laki-laki terlena, perempuan  yang mengingatkan. Sepasang kekasih tercipta untuk saling melengkapi, untuk itu jangan sampai keduanya terlena bersamaan. Sebab cinta merupakan salah satu senjata ampuh setan untuk melumpuhkan benteng keimanan.”

*Kutipan Buku Ya Habibal Qolbi, _Ni'matul Khoiriyyah_*

Senin, 21 Januari 2019

Salam Single Luar Biasa

*Single, Why Not?*

Oleh: Nduk Ni'*

Undangan demi undangan berdatangan. Satu persatu teman telah bersatu dengan sang tambatan hati. Berpadu dalam akad, membaur dalam cinta kasih nan setia. Sempat terlintas sekejap dalam benak, "Tuhan, kapan giliranku?"

Aku tersenyum kemudian. Kenapa menanyakan hal itu? Pernikahan bukanlah sebuah antrean, bukan pula perlombaan, pun bukan berpacu dalam waktu. Pernikahan adalah sebuah komitmen besar di mana Allah menjadi saksinya. Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa, dua raga, dua hati, dan dua insan yang berbeda secara kepribadian maupun pemikirannya dengan kemauan mencari titik temu dalam setiap perbedaan, dan tekad untuk saling menerima, saling memberi, saling mengisi satu sama lain meski tak selalu seiya sekata.

Indah. Sungguh mulia Islam membingkai cinta dalam pernikahan. Sungguh indah Islam mengaturnya. Islam memuliakan dan menyucikan cinta kasih sesama insan melalui sebuah akad suci yang mengguncangkan arasy.
***

Pertanyaan senada seringkali terlontar dari berbagai sisi. Iya. "Kapan" adalah kata tanya yang cukup banyak digunakan dalam hidup ini. Tidak hanya kapan menikah, tentunya. Karena hidup ini berarti menjalani waktu. Dan di setiap waktu tertentu, ada sesuatu yang harus kita lalui. Wajar bila pertanyaan "kapan" itu terlontar.

Saat masih sekolah, misalnya. "Kapan ujian? Kapan lulus? Kapan wisuda?" Begitu selesai menempuh jenjang pendidikan, ditanya "Kapan mulai kerja? Kapan menikah? Kapan punya momongan?" dan sebagainya.

Pertanyaan itu seolah menandakan bahwa kita tengah berada di sebuah tangga, dan masih banyak anak tangga yang harus kita lalui untuk bisa sampai ke atas. Kita harus terus naik meski kadang terasa berat, lelah, dan menjenuhkan.

Lalu bagaimana menghadapi pertanyaan semacam itu? Tenang saja. Hidup kita, kita yang menjalani. Rizki yang ditakdirkan untuk kita, tetap menjadi milik kita. Jodoh kita, tidak akan tertukar. Dan ajal kita, tidak akan maju atau mundur karena sebuah pertanyaan. Artinya apa? *Setiap orang telah Allah berikan waktu dan kebutuhannya masing-masing di saat yang tepat menurut pandangan Allah, bukan pandangan manusia.*

Tak usah risau dengan berbagai pertanyaan. Toh rasa penasaran itu sudah menjadi bagian dari sifat manusia. Selalu ingin tahu. Itulah mengapa ada ramalan cuaca, ada prediksi UN, ada kisi-kisi ujian, karena manusia selalu ingin tahu. Hadapi saja pertanyaan "kapan" itu dengan tenang. Jawab dengan jawaban yang pasti bila memang sudah memiliki jawaban, dan cukup tanggapi dengan ramah bila belum memiliki jawaban yang pasti.

Single sendiri seangkatan, apa nggak jadi bahan bully teman-teman? Kadang iya, kadang tidak. Saya ada di posisi itu. Dari alumni kelas PBA B pascasarjana 2017, saya satu-satunya yang masih single. Semua teman baik laki-laki maupun perempuan, sudah berpasangan dan beberapa dari mereka sudah dikaruniai buah hati.

Tidak risau? Tidak. Kembali ke konsep yang tadi, bahwa setiap orang Allah berikan waktunya masing-masing. Dan Allah Maha Adil. Adilnya Allah bukan berarti memberikan sesuatu yang sama pada hamba-Nya, tapi memberikan sesuatu sesuai potensi hamba-Nya. Allah memberikan saya masa single sekian tahun, mungkin karena bagi Allah ada beberapa misi yang hanya bisa saya jalani sebelum menjadi seorang istri. Allah memberikan masa single yang singkat pada teman-teman, mungkin karena bagi Allah, mereka mampu menjalankan misinya ketika berpasangan.

Single, why not?

Sahabatku yang masih single, jangan pernah merasa terpuruk, jangan pernah merasa sendiri. Kita punya waktu yang mungkin tidak orang lain miliki. Kita punya kesempatan yang mungkin tidak Allah berikan pada yang lain. Manfaatkan waktu dan kesempatan itu selagi kita belum "alih status", karena akan ada banyak hal yang mungkin tidak bisa kita lakukan setelah status kita berubah, sebab tugas baru yang akan berdatangan.

Single, maksimalkan potensi. Yuk jadi insan mulia yang dicintai Allah Ta'ala. Berhentilah mengeluh dan meratap, perbanyaklah rasa syukur dan bahagia. Tuhan kita Maha Pengasih dan Penyayang. Dia Maha Romantis. Mintalah yang terbaik, pasti Dia berikan.

Salam Single Luar Biasa ☺

*(Ni'matul Khoiriyyah)

Saleh Zaman Now

*Saleh Zaman Now*

Oleh: Ni'matul Khoiriyyah, S.Pd.I., M.Pd.

Kehidupan merupakan serangkaian ujian. Paketnya A-B, suka duka, dan tangis tawa. Jurus menghadapinya pun ada dua. Syukur di saat nikmat datang, bersabar saat duka melanda.

Ujian hidup merupakan wujud keadilan Tuhan pada semua insan. Allah Maha Adil. Setiap orang pasti Allah berikan ujian berupa suka dan duka. Tak peduli zaman old maupun zaman now, semua pernah bahagia, pernah juga menderita.

Kok porsinya tidak sama? Porsi memang tidak sama, tapi disesuaikan. Yang jelas, semua sama-sama diuji dengan dua paket; suka-duka. Uang saku anak TK tidak mungkin disamakan dengan uang saku mahasiswa. Tidak, tapi disesuaikan. Misalnya, anak TK seribu, SD dua ribu, SMP lima ribu, dan seterusnya.

Ujian yang Allah berikan pada manusia, bisa saja tidak sama. Mengapa? Tingkat keimanannya berbeda. Allah menguji hamba-Nya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Ujian untuk Nabi tentu levelnya lebih tinggi dari ujian para Wali, apalagi wali kelas. Tapi yakinlah, tidaklah Allah menguji seseorang melebihi batas kemampuannya.

 Lho, kok ada yang bunuh diri? Itu terjadi bukan karena tidak mampu menghadapi ujian Tuhan, tapi karena pikirannya terlanjur keruh, hatinya terlanjur mati, sehingga tak mampu melihat kebenaran dan bertindak dengan benar.

Mengapa hatinya bisa mati? Karena hatinya gersang, tandus, kurang siraman rohani. Ruhnya kering, tidak pernah diisi dengan ilmu-Nya, tidak diisi dengan keimanan pada-Nya, tidak bergaul dengan orang-orang saleh sebagai salah satu obat hatinya.

Inilah pentingnya memilih orang saleh sebagai teman. Baik, mungkin kita tidak berhak menilai kesalehan orang, tapi setidaknya kita masih bisa melihat dengan jelas mana perilaku baik, mana yang buruk. Mana yang benar, mana yang salah. Maka pilihlah teman yang perilakunya baik dan benar. Semakin banyak kita berteman dengan yang baik, semakin terselamatkan hati kita dari kegersangan yang mematikan.

Berteman dengan orang saleh, memperkecil kemungkinan kita untuk berbuat dosa. Bayangkan ketika setiap obrolan kita mengandung hikmah, saat bersama tidak mengghibah yang lain, dalam bercanda masih beretika, pasti hati akan tercerahkan, tidak gelap. Setiap ada masalah, solusi mudah didapati. Mengapa? Karena teman yang saleh.

Ah, mencari teman saleh di zaman now begitu susah. Oh ya? Begitukah? Mengapa kita tidak belajar menjadi orang yang saleh saja? Jangan-jangan, bukan orang salehnya yang langka, tapi kita yang kurang tepat bersikap sehingga aura kesalehan orang itu tidak kita rasakan.

Maka dari itu, marilah kita mencari teman yang saleh, dibarengi dengan proses menyalehkan diri. Kalau tidak ingin dighibah saat kita tiada, jangan kita mengghibah teman saat ia tiada. Jaga ucapan, jaga tangan, jaga hati. Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang sederhana, dan mulai dari sekarang, karena seribu langkah dimulai dari satu langkah. Yuk, menjadi orang saleh zaman now!

Sabtu, 06 Oktober 2018

Profil Ni'matul Khoiriyyah, Penulis Mas Ustadz The Series

*Profil Penulis Novel*
*Mas Ustadz The Series: Sakinah Bersamamu*

Novel bersampul hijau sejuk dengan siluet sepasang kekasih halal ini ditulis oleh Ni'matul Khoiriyyah, putri KH. Muhammad Hasan dan Hj. Siti Sopiyah. Penulis berdomisili di Kamulan, Durenan, Trenggalek, Jawa Timur, lahir pada tanggal 27 Juli 1993, bertepatan dengan 7 Shafar 1414. Ni'mah menempuh pendidikan dasar di MIWB Hidayatut Thullab Kamulan (2005), pendidikan menengah di SMPN 1 Durenan (2008), MAN Kunir Wonodadi (MAN 3 Blitar) 2011, kemudian melanjutkan studi di IAIN Tulungagung dengan prodi Pendidikan Bahasa Arab (S1, 2015 dan  S2, 2017).

Penulis merupakan dosen baru di IAIN Kediri. Selain itu, penerjemah abstrak skripsi dan tesis ini juga melayani bimbel siswa SD/MI, dan privat Bahasa Arab di *An-Ni'mah Arabic Private Course.*

Kakak dari Muhammad Yusuf Saifulloh ini merupakan anggota grup kepenulisan Ode Literasi, binaan Suhardiyanto, dan Aku Bisa Menulis, yang didirikan oleh M Husnaini. Novel Mas Ustadz The Series ini merupakan buku solo ketiganya setelah Ketika Tasbihku Bertahmid (2014), dan Diary Ramadhan Ni'mah (2015).

Beberapa judul karyanya yang masuk dalam buku antologi; Senandung Cinta Karena Allah (Pelangi Inspirasi), Isabella 2013 (a Letter for My Prince), Ketika Cintaku Bertakbir (Cinta Bersemi di Pelaminan), Imam Sholeh Pilihan Ayah (Catatan Cinta untuk Ayah), Modus (Masa Lalu yang Membekas di Hati), Izinkan Aku Merengkuh Hatimu (Pantaskah Aku Mencintaimu), Tembok Besar Cinta (Dalam Tahajud Cintaku), Bidadari Surga (So, Please!), Senja Cinta Isabella (Yang Menanti Senja), Cinta itu ... (Ketika Hati Berpuisi), Diary Cinta sang Bidadari (Kitab Cinta), Imam Impianku (Kupinang Dia dengan Bismillah), Ramadhan Karim (Cahaya Ramadhan), Membaca Membuka Cakrawala, Menulis Menggerakkan Dunia (Geliat Literasi IAIN Tulungagung), Dear Imanku (Letter for Love), Jemari yang Menghanyutkan (Medsosku Sayang, Medsosku Malang), Mendidik Buah Hati dengan Cinta (Mendidik Anak di Era Digital), IJOW (Goresan Cinta untuk Bunda), Cinta Pertamaku (Goresan Cinta untuk Bunda), Surat Untuk Jodohku Tercinta (Ungkapan Hati), dan Ya Habibal Qalbi (Ikhtiar Cinta).

Berawal dari tugas menulis diary dan melanjutkan cerita bersambung saat belajar Bahasa Indonesia di SMP, Ni'mah mulai tertarik dengan dunia kepenulisan. Ia mulai unjuk diri saat mondok di Al Kamal dengan beberapa karyanya yang terpampang di Mading pesantren. Berbagai even pun diikutinya hingga lahirlah lebih dari 20 buku antologi dan 3 buku solo dalam 5 tahun terakhir.

Dunia cinta dengan nuansa religius seolah tidak pernah lepas dari tema tulisannya. Baginya, menulis berarti menebarkan cinta dan kebaikan. Menulis dapat mengurangi beban pikiran dan perasaan. Menulis dapat menambah teman dan memperluas persaudaraan, serta mempererat jalinan dan kedekatan jiwa dengan pembaca. Dan kebahagiaan seorang penulis adalah ketika ada pembaca yang terinspirasi oleh tulisannya, lalu bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Misalkan, setelah membaca Mas Ustadz The Series, sang suami menjadi lebih penyayang dan setia kepada istri, keduanya semakin sadar akan kewajiban masing-masing, paham apa yang harus dilakukan untuk saling  membahagiakan, saling dukung, saling mengerti, dsb.

Karena sebagaimana mengajar, menulis juga bisa menjadi ladang pahala dan amal jariyah, yaitu apabila pembaca mengamalkan apa yang disampaikan penulis dalam karyanya. Semoga karya sederhana ini bermanfaat dan membawa keberkahan bagi penulis dan para pembaca, sehingga kebahagiaan hakiki dunia akhirat mampu kita raih bersama.
Aamiin.



Mas Ustadz The Series

Profil Buku

Judul: Mas Ustadz The Series: Sakinah Bersamamu
Genre: Novel
Penulis: Ni'matul Khoiriyyah
Editor: Ni'matul Khoiriyyah
Penerbit: FAM Publishing, Kediri
Tahun Terbit: 2018
Desain Cover: Suhardiyanto
Layout: Fariz Hazim
Tebal: xiv+156 hlm


Daftar Isi

1 Tiga Langkah Menuju Akad Nikah: Sebuah Perenungan
2 Ana Fintidharik
3 Simfoni Ketupat Syawal
4 Melodi Secangkir Kopi
5 Kusumaning Ati
6 Lengkuas Cinta
7 Secangkir Cinta dalam Teh Jahe
8 Ketika Mawaddah Menjelma Rahmah
9 Dhomir Na
10 Labisa
11 Kaulah Pakaianku
12 Kepompong
13 Jarum Pentul
14 Sutera Kata
15 Bukan Cinta Amatir
16 Kinayah
17 Kopi Pahit
18 Bismillah Dulu, Sayang!
19 Ciput Biru
20 Qonita
21 Qothrun Nada
22 Penjaga Hati
23 Rendaman Cinta
24 Sudut Pandang Cinta
25 Insomnia
26 Anugerah Agung
27 Antara Salat dan Bahagia
28 Karena Kucing
29 Bingkisan
30 Bunga-Bunga Cinta
31 Hadiahnya Besok
32 Si Manis Berhidung Minimalis
33 Ridho Guru, Jalan Bahagia
34 Anugerah vs Fitnah
35 Kunci Bahagia
36 Pahala
37 Romantika Doa
38 Sambal Terung Rasa Cinta
39 Melodi Tengah Malam
40 Sekuntum Rindu untuk Mas Ustadz